Permasalahan anak berkemampuan mental rendah ( Anak tunagrahita ) tidak asing lagi bagi para guru SLB maupun para pendidik yang berkecimpung di bidang PLB. Namun dengan berkembangnya teknologi, permasalahan yang dihadapi bagi guru dalam upaya pembelajaran bagi mereka juga mengalami perkembangan. Salah satu contoh dalam perkembangan adalah istilah atau penamaan bagi anak juga mengalami perkembangan. Secara historis penamaan anak dimulai dengan istilah –istilah yang kurang mengenakkan atau kurang mempertimbangkan kondisi sosial psikologis bagi orang tua anak yang mengalami retardasi mental atau keterbelakangan mental maupun bagi anak yang bersangkutan. Istilah yang digunakan tersebut merupakan pemahaman yang artinya ditujukan kepada masalah kemampuan berpikir anak yang lemah.Beberapa istilah yang sering digunakan antara lain sebagai anak : dungu , bodoh, lemah otak, tuna mental , tuna cipta, retardasi mental, keterbelakangan mental, lambat belajar,mental subnormality, mental deficiency, feeble minded, backwardness, moron, serta banyak istilah lainnya. Istilah yang masih dirasa kurang mengena dan kurang tepat yaitu istilah mental subnormality dengan tiga klasifikasinya : severe subnormality, subnormality, dan psychopatic disorder, sering mengacaukan karena kurang mendalami permasalahannya. Terdapat satu istilah lain di atas feeble minded yaitu ” Moral defective”, maksudnya apabila penderita tersebut mengalami komplikasi dengan adanya kecenderungan yang kuat untuk berbuat jahat. Tetapi mungkin juga terjadi bahwa penderita moral defective mempunyai kemampuan berpikir yang normal.
Di Indonesia dengan adanya istilah –istilah yang kurang mengenakkan tersebut mengalami perkembangan perubahan . Istilah yang kurang tepat apabila diterapkan bagi penderita retardasi mental, karena istilah tersebut cenderung pada satu kelainan dalam satu fungsi jiwa saja. Misalnya istilah lemah ingatan berarti hanya menyangkut masalah kurang berfungsinya daya ingatan saja. Lemah otak juga dapat diartikan karena kurang berfungsinya daya pikir . Sedangkan mental dapat diartikan seluruh aspek kejiwaan yang meliputi cipta, rasa dan karsa ( Kognisi, emosi dan konasi ) Oleh karena itu timbul perubahan istilah yang dirasa lebih tepat apabila diterapkan di Indonesia yaitu istilah ” Tunagrahita ” Namun dengan adanya perkembangan Bahasa Indonesia sekarang di sosialisasikan dengan istilah Anak Berkemampuan Mental Rendah ( ABMR ).
Permasalahan lain yang terjadi berkait dengan ABMR adalah timbulnya bermacam-macam anggapan yang bersifat negatif , sehingga menimbulkan permasalahan bagi fihak keluarga , masyarakat maupun para guru.. Bagi fihak keluarga yang memiliki ABMR mempunyai reaksi yang berbeda-beda menurut caranya sendiri, antara lain : merasa malu, merasa bersalah melahirkan AMBR, merasa banyak berdosa, kewibawaan dan gengsi keluarga menurun, merasa kecewa, kehilangan harga diri, mengharapkan adanya keajaiban penyembuhan, menyalahkan dokter yang membuat diagnosa, sensitif terhadap segala kritik, bersikap berlebihan, terlalu melindungi dan memanjakan, dan ada yang merasa bahwa itu adalah suatu ujian kesabaran dari Allah. Sedangkan bermacam – macam sikap yang muncul dari masyarakat antara lain : ABMR diduga mengalami moral defisiency, kejahatan dan keturunan, ABMR dikucilkan, menganggap bisa menular terhadap anak lain, ada kecenderungan masyarakat melarang anaknya untuk bergaul dengan ABMR. Adapun permasalahan yang dihadapi sekolah khususnya guru pada sekolah segregasi ( SLB ) dalam pembelajaran antara lain : karakteristik anak yang unik, individualistik diperlukan strategi, metode dan pendekatan secara individual, sedangkan rasio antara guru dengan siswa tidak ideal. Permasalahan administrasi pembelajaran sebagai guru kelas, termasuk dalam penyusunan RPP maupun media pembelajaran, kurang dapat menyesuaikan kebutuhan individual anak. Tuntutan orang tua yang mengharapkan anaknya dapat mengikuti ujian Nasional setara dengan jenjang pendidikan anak. Bagi Guru Pembimbing Khusus di sekolah inklusi , siswa yang berada di sekolah inklusi kelainannya bervariasi, sebagian besar adalah ABMR. Rasio antara guru dengan jumlah siswa tidak berimbang, setiap sekolah hanya ada satu atau dua guru, padahal status siswa berada pada setiap kelas dan ada kelas khusus. Tuntutan administrasi kelas dan administrasi pembelajaran harus terpenuhi. Orang tua sangat mengharapkan anaknya (ABK) dapat menyamai teman – temannya yang sebaya. Bagi anaknya yang ABMR diharapkan paling tidak dapat mencapai pendidikan setingkat akademi. Orang tua tidak sabar, sehingga anak sering dipindahkan sekolah lain dengan memberikan penilaian pada guru atau sekolah kurang / tidak berkualitas. Orang tua kurang mendukung kurikulum sekolah, kurang memberikan bimbingan di rumah , karena sebagian anak dititipkan kepada nenek / kakek dalam pengurusan atau pengasuhan anak. Orang tua kurang memperhatikan perkembangan ABMR, karena orang tua berpersepsi meskipun sekolah anak tidak mengalami tambahan ilmu dan pengetahuan. Orang tua cenderung lebih memperhatikan anaknya yang normal. Permasalahan yang terjadi pada ABMR adalah adanya karakteristik yang khas dan unik, terutama karena keterbatasan kemampuan berfikir atau rendahnya inteligensi akan berpengaruh pada kemampuan bahasa dan komunikasi akibatnya berengaruh pada kemapuan bersosialisasi atau bermasyarakat. Karakteristik yang lain juga adanya gangguan pada motorik, sehingga akan berpengaruh pula pada kemampuan dalam melaksanakan keterampilan dalam kegiatan hidup sehari – hari termasuk kemampuan dalam bina diri.Bina diri merupakan kemampuan yang sangat diperlukan dan dikuasai anak tunagrahita agar tidak tergantung pada orang lain dalam mengurus dirinya sendiri. Lebih jauh agar anak dapat hidup bermasyarakat secara wajar.
Untuk lebih jelasnya silakan kunjungi http://anwar.staff.fkip.uns.ac.id/materi-kuliah/pend-abmr/
Komentar
Posting Komentar